Hasil workshop hari-1
POIN-POIN PENTING REFLEKSI INTERNAL HARI PERTAMA-INTERNAL BRR-MANAJER, SATKER & TECHNICAL ASSISTANT
(REFERENSI UNTUK DISKUSI HARI KE-2)
Laverna-Gunungsitoli, 30 Agustus 2006
I. REFLEKSI SETAHUN
Para peserta berdiskusi dan berefleksi dengan pokok pembahasan mengenai konsep rehab rekon yang dikembangkan BRR yakni Membangun Nias Menjadi Lebih Baik (Build Nias Back Better) melalui pendekatan community-based approach atau konsultasi dan pelibatan komunitas dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Strategi pelibatan masyarakat yang didiskusikan meliputi 4 (empat) tahap dalam siklus pelaksanaan program, yakni: 1) Pelibatan komunitas pada tahap perencanaan program. 2) Pelibatan komunitas pada tahap pelaksanaan. 3) Pelibatan komunitas dalam pengawasan. 4) Pelibatan komunitas dalam monitoring dan evaluasi.
Dengan bimbingan pertanyaan, bagaimana peserta menilai partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta apa hambatan partisipasi yang terintegrasi, para peserta menyampaikan beberapa poin penting refleksi sebagai berikut:
Seringkali palaksana proyek di lapangan menghadapi kendala pertentangan dan penolakan masyarakat untuk mengorbankan tanah dan tanaman mereka bagi kepentingan pelaksanaan proyek. Masyarakat menolak sama sekali atau meminta ganti rugi yang berlebihan;
Pengalaman berhubungan dengan Kepala Desa dalam rangka pendekatan dan koordinasi justru sering menimbulkan masalah, karena masyarakat menganggap kita telah memberikan uang kepada Kepala Desa;
Keramatamahan yang layak dalam rangka pendekatan dan koordinasi (sekapur-siri) dengan masyarakat dan atau tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan diartikan sama dengan kita harus memberikan sejumlah uang;
BRR sebagai fasilitator harus benar-benar transparan yang memungkinkan semua stakeholder memahami apa yang sedang terjadi sampai pada level masyarakat desa dan kampung;
Banyak LSM local (advokasi) dan termasuk aparat tidak bertindak sebagaimana mestinya untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi;
Perlu ada standard prosedur yang lebih jelas untuk menangani beberapa masalah penting yang muncul dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk pola hubungan koordinasi dan komunikasi dengan Pemda/Pemkab dan hubungan internal;
Butuh konsistensi dan penegasan pelaksanaan hasil-hasil rapat sebelumnya yang telah sama-sama disepakati/dibicarakan;
Ada intervensi eksternal dari berbagai pihak yang mengancam obyektifitas dalam pelaksanaan program;
Pemerintah diam saja atau hanya menunggu dari BRR. Pemerintah juga jangan intervensi meski perlu ada koordinasi;
Memperhatikan agar pelaksanaan program lebih maksimal bermanfaat bagi masyarakat;
Ada perbedaan pendapat antara Pemda dan BRR yang butuh penyelesaian, seperti dalam kasus pajak bahan galian golongan C;
Satker sering miskomunikasi dengan Pemda/Dinas-dinas dan mendapat banyak tekanan;
Masalah rentang kendali di BRR, dimana terdapat proporsi staf yang timpang. Satker yang mengelola dana lebih kecil memiliki staf yang sama jumlahnya dengan satker yang mengelola dana besar;
Ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi dengan pemahaman yang kurang mengenai mekanisme dan prosedur yang harus dilalui BRR dalam pelaksanaan program;
Sosialisasi yang lebih luas dan menjangkau semua kelompok masyarakat;
Satker tidak memiliki program dan dana untuk sosialisasi sehingga butuh lembaga seperti PIC untuk melaksanakan fungsi sosialisasi;
II. BEBERAPA SOLUSI
a. Perlu dibuat standard ganti rugi bagi masyarakat;
b. Perlunya pembuatan standard operating procedure (SOP) mencakup berbagai bidang yang krusial dalam hubungan masyarakat, hubungan dengan Pemda/Pemkab dan internal;
c. Perlu adanya komite tokoh-tokoh masyarakat yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat dan penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat;
d. Pembuatan paket-paket kecil dari program rehab-rekon yang memungkinkan masyarakat terlibat;
e. Perlu ada surat kepada Pemda/Pemkab untuk mendukung kegiatan rehab-rekon, mulai dari tingkat peling atas sampai level desa dan kampung dan agar tidak ada tekanan-tekanan atau permintaan-permintaan;
f. Pembenahan komunikasi yang memungkinkan masyarakat mengerti pola dan prosedur pelaksanaan program rehab-rekon;
g. Memanfaatkan lembaga keagamaan dalam sosialisasi, dibarengi sosialisasi tatap muka karena budaya baca yang rendah;
h. Perlu ada SOP mengenai partisipasi masyarakat yang diberikan kepada satker, karena ada perbedaan antara satu kegiatan/program dengan program lain dan ada mekanisme baku yang harus diikuti, seperti Kepres 80/2003.
III. BEBERAPA REKOMENDASI EKSTERNAL
Perlunya pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitsi dan rekonstruksi dalam perencanaan dan pengawasan.
Kepada setiap kontraktor yang memperoleh pekerjaan di Nias, pada waktu penyetoran pajak harus mencantumkan lokasi Kabupaten Nias/Nisel dalam formulir SSP.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan aslih daerah, setiap kontraktor wajib membayar pajak bahan galian golongan C kepada Pemkab Nias/Nisel yang dimulai pada TA 2007
(REFERENSI UNTUK DISKUSI HARI KE-2)
Laverna-Gunungsitoli, 30 Agustus 2006
I. REFLEKSI SETAHUN
Para peserta berdiskusi dan berefleksi dengan pokok pembahasan mengenai konsep rehab rekon yang dikembangkan BRR yakni Membangun Nias Menjadi Lebih Baik (Build Nias Back Better) melalui pendekatan community-based approach atau konsultasi dan pelibatan komunitas dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Strategi pelibatan masyarakat yang didiskusikan meliputi 4 (empat) tahap dalam siklus pelaksanaan program, yakni: 1) Pelibatan komunitas pada tahap perencanaan program. 2) Pelibatan komunitas pada tahap pelaksanaan. 3) Pelibatan komunitas dalam pengawasan. 4) Pelibatan komunitas dalam monitoring dan evaluasi.
Dengan bimbingan pertanyaan, bagaimana peserta menilai partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta apa hambatan partisipasi yang terintegrasi, para peserta menyampaikan beberapa poin penting refleksi sebagai berikut:
Seringkali palaksana proyek di lapangan menghadapi kendala pertentangan dan penolakan masyarakat untuk mengorbankan tanah dan tanaman mereka bagi kepentingan pelaksanaan proyek. Masyarakat menolak sama sekali atau meminta ganti rugi yang berlebihan;
Pengalaman berhubungan dengan Kepala Desa dalam rangka pendekatan dan koordinasi justru sering menimbulkan masalah, karena masyarakat menganggap kita telah memberikan uang kepada Kepala Desa;
Keramatamahan yang layak dalam rangka pendekatan dan koordinasi (sekapur-siri) dengan masyarakat dan atau tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan diartikan sama dengan kita harus memberikan sejumlah uang;
BRR sebagai fasilitator harus benar-benar transparan yang memungkinkan semua stakeholder memahami apa yang sedang terjadi sampai pada level masyarakat desa dan kampung;
Banyak LSM local (advokasi) dan termasuk aparat tidak bertindak sebagaimana mestinya untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi;
Perlu ada standard prosedur yang lebih jelas untuk menangani beberapa masalah penting yang muncul dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, termasuk pola hubungan koordinasi dan komunikasi dengan Pemda/Pemkab dan hubungan internal;
Butuh konsistensi dan penegasan pelaksanaan hasil-hasil rapat sebelumnya yang telah sama-sama disepakati/dibicarakan;
Ada intervensi eksternal dari berbagai pihak yang mengancam obyektifitas dalam pelaksanaan program;
Pemerintah diam saja atau hanya menunggu dari BRR. Pemerintah juga jangan intervensi meski perlu ada koordinasi;
Memperhatikan agar pelaksanaan program lebih maksimal bermanfaat bagi masyarakat;
Ada perbedaan pendapat antara Pemda dan BRR yang butuh penyelesaian, seperti dalam kasus pajak bahan galian golongan C;
Satker sering miskomunikasi dengan Pemda/Dinas-dinas dan mendapat banyak tekanan;
Masalah rentang kendali di BRR, dimana terdapat proporsi staf yang timpang. Satker yang mengelola dana lebih kecil memiliki staf yang sama jumlahnya dengan satker yang mengelola dana besar;
Ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi dengan pemahaman yang kurang mengenai mekanisme dan prosedur yang harus dilalui BRR dalam pelaksanaan program;
Sosialisasi yang lebih luas dan menjangkau semua kelompok masyarakat;
Satker tidak memiliki program dan dana untuk sosialisasi sehingga butuh lembaga seperti PIC untuk melaksanakan fungsi sosialisasi;
II. BEBERAPA SOLUSI
a. Perlu dibuat standard ganti rugi bagi masyarakat;
b. Perlunya pembuatan standard operating procedure (SOP) mencakup berbagai bidang yang krusial dalam hubungan masyarakat, hubungan dengan Pemda/Pemkab dan internal;
c. Perlu adanya komite tokoh-tokoh masyarakat yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat dan penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat;
d. Pembuatan paket-paket kecil dari program rehab-rekon yang memungkinkan masyarakat terlibat;
e. Perlu ada surat kepada Pemda/Pemkab untuk mendukung kegiatan rehab-rekon, mulai dari tingkat peling atas sampai level desa dan kampung dan agar tidak ada tekanan-tekanan atau permintaan-permintaan;
f. Pembenahan komunikasi yang memungkinkan masyarakat mengerti pola dan prosedur pelaksanaan program rehab-rekon;
g. Memanfaatkan lembaga keagamaan dalam sosialisasi, dibarengi sosialisasi tatap muka karena budaya baca yang rendah;
h. Perlu ada SOP mengenai partisipasi masyarakat yang diberikan kepada satker, karena ada perbedaan antara satu kegiatan/program dengan program lain dan ada mekanisme baku yang harus diikuti, seperti Kepres 80/2003.
III. BEBERAPA REKOMENDASI EKSTERNAL
Perlunya pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitsi dan rekonstruksi dalam perencanaan dan pengawasan.
Kepada setiap kontraktor yang memperoleh pekerjaan di Nias, pada waktu penyetoran pajak harus mencantumkan lokasi Kabupaten Nias/Nisel dalam formulir SSP.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan aslih daerah, setiap kontraktor wajib membayar pajak bahan galian golongan C kepada Pemkab Nias/Nisel yang dimulai pada TA 2007
0 Comments:
Post a Comment
<< Home